Namaku Ratih, umurku 18 tahun.
Tinggiku hanya 158cm tidak begitu tinggi dan cukup langsing. Menurut
orang-orang sekitarku aku memiliki paras yang cantik dan menarik, selain
itu dadaku cukup padat dan montok dengan ukuran 36A. Setahun yang lalu
aku menikah dengan Deden, seorang buruh tani yang belum memiliki
pekerjaan tetap. Meski demikian, aku sangat menyayangi Deden apa adanya.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku bekerja sebagai penjual
jamu gendong keliling, di desa tempat tinggalku daerah Jawa Tengah. Aku
tidak sampai hati memaksa Deden untuk memenuhi seluruh kebutuhan
keluarga seorang diri, sehingga dari pagi hingga sore aku bekerja tanpa
mengenal lelah. Belum lagi tanggunganku terhadap Ibuku yang sudah lanjut
usia dan mulai sakit-sakitan. Tapi apa mau dikata, semua ini demi
keadaan yang lebih baik.
Saat
ini aku sudah hamil 4 bulan, perutku sudah mulai membesar meski belum
begitu terlihat. Deden pun semakin perhatian, ia sering berangkat
bekerja lebih siang untuk membantuku membuat jamu yang akan kujual. Aku
senang, meski begitu aku tetap menyuruh Deden bekerja tepat waktu karena
aku tidak mau upahnya dipotong hanya karena terlambat. Kami berdua
sangat rukun meski keadaan ekonomi kami cukup sulit.
Seperti
biasa, pagi-pagi aku berangkat ke pasar untuk membeli bahan-bahan
daganganku. Semua tersusun rapi di dalam keranjang gendong di
punggungku. Sampai rumah aku racik semua bahan-bahan tadi dalam sebuah
kuali besar dan aku masukkan dalam botol-botol air mineral ukuran besar.
“Wah, rajin sekali istriku.” Deden menyapaku dan memberikan sebuah kecupan hangat di keningku.
Aku pun membalasnya dengan ciuman di pipinya sebelah kanan.
“Sudah mau berangkat ke ladang Pak Karjo?” tanyaku.
“Iya,
mungkin sebentar lagi, hari ini ladangnya akan ditanam ulang setelah
kemarin panen. Mungkin nanti aku tidak bisa mengantarmu sampai ujung
jalan karena Pak Karjo akan marah jika aku sampai terlambat.” jawab
suamiku.
“Tidak apa-apa, ini semua kan demi keluarga kita.”
Aku meyakinkannya sambil mengelus pipinya.
“Tapi nanti hati-hati Ratih, ingat kamu sedang hamil. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan anak kita.”
“Iya, suamiku.” jawabku mengakhiri obrolan kami.
Sebentar
saja suamiku minta pamit padaku untuk segera berangkat ke ladang Pak
Karjo. Tak lupa aku memberikan rantang berisi makanan yang tadi telah
aku siapkan.
Setelah sedikit
berbenah, akhirnya semua jamu sudah aku siapkan dan sudah aku masukkan
ke keranjangku. Waktu juga sudah menunjuk pukul 09.00, berarti sudah
saatnya aku mulai menjajakan jamu. Sebelumnya aku siap-siap dahulu
dengan mengenakan kaos pendek warna putih dan rok selutut. Aku gendong
keranjang berisi bermacam-macam jamu, aku kaitkan dengan selendang
dengan tumpuan diantara dua payudaraku. Sehingga dadaku nampak menonjol
sekali, belum lagi bawaan jamu yang cukup berat yang membuatku sedikit
membusung hingga mencetak dengan jelas kedua dadaku. Setelah semuanya
siap, aku segera berangkat berkeliling menjajakan jamu, tak lupa aku
mengunci pintu depan dan belakang rumah warisan ayah Deden.
Setiap
hari rute perjalananku tidaklah sama, aku selalu mencari jalan baru
sehingga orang-orang tidak akan bosan dengan jamu buatanku. Karena
setiap hari aku bertemu dengan orang yang berbeda. Kali ini aku berjalan
melewati bagian selatan desaku.
“Jamu, Jamuuu.”
Begitu teriakku setiap kali aku melewati rumah penduduk.
“Mbakk, Mbakk, Jamunya satu.” teriak seorang wanita.
“Mau jamu apa mbak?” tanyaku.
“Kunir Asem satu gelas saja mbak.” pintanya.
Segera
aku tuangkan segelas jamu kunir asem yang aku tambahkan sedikit gula
merah. Setelah itu aku berkeliling menjajakan jamu kembali. Siang itu
begitu terik, hingga kaosku basah oleh keringat. Tapi aku tak peduli,
toh penjualan hari ini cukup lumayan. Paling tidak sudah balik modal
dari bahan-bahan tadi yang kubeli.
Aku
melangkah menyisir hamparan sawah dengan tanaman padi yang sudah mulai
menguning. Memang mayoritas pekerjaan penduduk di Daerah tempatku
tinggal adalah petani. Sehingga mulai dari anak-anak hingga dewasa sudah
terbiasa dengan pekerjaan bercocok tanam. Aku melanjutkan perjalananku
dan melewati sebuah gubuk sawah dimana para buruh tani sedang
beristirahat karena sudah tengah hari. Belum sempat aku menawarkan
mereka jamu, salah satu dari mereka sudah memanggil.
”Mbak, mbakk, jualan apa mbak?” tanya salah seorang dari mereka.
“Anu,
saya jualan jamu mas, ada jamu kunir asem, beras kencur, jamu pahitan,
dan jamu pegel linu.” jawabku sambil menunjukkan isi keranjangku.
”Ohh, kalau begitu saya minta beras kencurnya satu mbak.” kata salah seorang dari mereka.
Segera
kuturunkan keranjang bawaanku dan memberikan pesanannya. Mereka semua
ada bertiga, salah satu dari mereka sepertinya masih smp.
Aku
duduk di pinggir gubuk tersebut. Sembari beristirahat dari teriknya
siang hari. Mereka mengajakku berkenalan dan mengobrol sembari meminum
jamu buatanku.
“Wahh, sudah berapa lama mbak jualan jamu?” tanya Aji yang memiliki tubuh kekar dan hitam.
“Kurang lebih setahun mass, ya sedikit-sedikit buat bantu orang tua.” jawabku sekenanya.
“Wah
sama dengan Dewo, dia juga rajin membantu orang tua.” potong Abdul yang
kurang lebih seumuran Aji, sedangkan Dewo adalah yang paling muda
diantara mereka.
“Yaa, mau gimana lagi mas, kalau nggak begini nanti nggak bisa makan.” jawabku lagi.
“Mbak tinggal di desa seberang ya?” tanya Dewo.
“Iya mas, tiap hari saya berkeliling sekitar desa jualan jamu.
”Ooo, pantas kok saya belum pernah liat mbak.” jawab Dewo lagi.
Lama
kami mengobrol ternyata mereka hampir seumuran denganku, Aji dan Abdul
mereka berumur sekitar 20-an tahun, sedangkan Dewo masih 14-an tahun.
Obrolan kami semakin lama hingga membuatku lupa waktu.
“Wah, mbak kalo jamu kuda liar ada nggak ya?” tanya Aji.
“Wahh, mas ni ngaco, ya ndak ada to mas, adanya juga jamu pegel linu.” jawabku sambil sedikit senyum.
“Waduhh, kok nggak ada mbak? Padahal kan asik klo ada.” jawab Abdul sambil terkekeh-kekeh.
“Asik kenapa to mas?” tanyaku heran.
“Ya
supaya saya jadi liar kayak kuda to mbak.” jawab Aji sembari meletakkan
gelas di dekat keranjangku kemudian duduk di sampingku.
Posisiku
kini ada diantara Aji dan Abdul, sedangkan Dewo ada dibelakangku.
Rupanya Dewo diam-diam memperhatikan tubuhku dari belakang, memang BH ku
saat itu terlihat karena kaosku yang sedikit basah oleh keringat dan
celana dalamku yang sedikit mengecap karena posisi dudukku di pinggir
gubuk. Tapi aku tidak tahu akan hal ini.
“Wah panasnya hari ini, bikin tambah lelah saja.” Abdul berkata sambil tiduran di lantai gubuk itu.
Saking
keenakan tiduran tanpa terasa ia menggaruk-garuk bagian kemaluannya.
Aku pura-pura tidak melihat, dalam hati aku berpikir,
”Dasar orang kampung tidak tahu malu.”
Saat
itu panas semakin terik, sedangkan di gubuk sungguh sangat nyaman
dengan angin yang semilir, tidak terasa aku pun mulai mengantuk. Mungkin
karena tadi aku bangun pagi sekali sehingga aku belum sempat untuk
beristirahat. Aji pun hanya bersandaran pada tiang kayu di sudut gubuk.
Dewo juga sama seperti Abdul, tiduran di lantai dengan kepala menghadap
ke arahku. Aku menghela nafas, mengeluh karena panas tak juga usai.
Bukannya aku tidak mau berpanas-panasan berjualan, tapi mengingat
kondisiku yang sedang hamil aku takut terjadi sesuatu dengan janinku.
”Wah, kok ngelamun aja to mbak? Cantik-cantik kok suka ngelamun, memang ngelamunin apa to mbak?” kata Abdul mengagetkanku.
”A.. anu mas saya cuma mikir kok panasnya tidak kunjung reda.” jawabku.
”Wah, memangnya kenapa to mbak… tinggal ditunggu saja kok nanti juga tidak terik lagi.” kata Dewo dari belakangku.
“Ya
gimana mas, kalau terus seperti ini nanti daganganku tidak laku, aku
bisa rugi mas.” jawabku sambil mengamati langit yang sangat terik.
“Sudah mbak, tenang saja, kalau rezeki nggak akan kemana kok.” hibur mas Aji.
Tidak
terasa aku semakin mengantuk. Semilir angin yang ditambah dengan
suasana ladang sawah memang sangat nyaman. Tak terasa aku pun mulai
memejamkan mata sembari bersandaran pada keranjang dagangan yang aku
letakkan disampingku. Cukup lama aku ketiduran, hingga aku terbangun
karena ada sesuatu yang menyentuh pantatku.
“Aaaaaw apa-apaan ini!!?”
Aku
terbangun dan kaget ketika memplok. Abdul menciumi leherku yang putih,
dibuatnya tubuhku merinding dan aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku
menghindari jilatan liar lidah Abdul. Ciuman Abdul semakin turun
mengarah pada dua gunung kembar milikku. Aku tak dapat mengelak.
“Sudah
diam! Nanti aku beli semua jamu milikmu dan sebagai bonusnya aku minta
jamu milikmu yang indah itu.” kata Aji sambil meremas payudara sebelah
kiri milikku dan tertawa cengengesan.
Aku
meronta-ronta minta tolong dan mencoba untuk melepaskan ikatan pada
kaki dan tanganku. Tapi tenagaku tidak cukup untuk menolongku dari
situasi ini.
”Ampunn mass, saya sudah menikah, nanti suamiku bisa menceraikanku.” Aku memelas dengan harapan mereka dapat berubah pikiran.
”Oh, ternyata kamu sudah tidak perawan toh, tapi tubuhmu masih sempurna.” bisik abdul sambil meniup telingaku.
Darahku serasa berdesir, dicampur rasa ketakutan yang mendalam. Dalam hati aku berpikir,
”Bagaimana dengan Deden, aku takut, bagaimana dengan janinku, bagaimana kalau aku diperkosa.”
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku saat itu.
“Jangann mass, jangan, aku sedang haid, jadi tubuhku kotor.”
Aku mencoba untuk mengelabui mereka. Setelah itu mereka bertiga berhenti menggerayangiku dan saling memandang satu sama lain.
“Yang bener kamu sedang haid? Wah sial bener aku hari ini!” jawab Abdul kesal.
“Iiya mas, sudah dua hari ini aku haid, jadi sedang banyak-banyaknya, tolong biarkan aku pergi.”
Aku memohon pada mereka.
“Ya.. ya sudahlah, mungkin kita sedang apes.” kata Aji.
Namun Dewo yang masih berumur 14 tahun ini tidak mempedulikan ucapanku, dia cukup senang meremas-remas pantatku.
“Sudah Wo, dia lagi haid, kamu mau apa kena darah?” kata Aji pada dewo.
Dewo
tetap tidak menghiraukannya. Justru ia semakin kencang meremas pantatku
dan semakin ke bawah menuju selangkanganku. Posisiku yang sambil
tiduran membuat rok ku sedikit terangkat hingga celana dalam putihku
terlihat. Dewo yang saat itu sedang meraba-raba pantatku rupanya tidak
menyia-nyiakan hal ini, dibukanya rokku semakin keatas,
“Mana? Tidak ada darah kok.” kata Dewo.
Sontak ucapan Dewo mendapat perhatian dari Aji dan Abdul.
“Mana Wo, jangan bohong kamu.” kata mereka serempak.
Kemudian Aji mengangkat rok dan menyentuh celana dalamku.
“Kamu bohong!” dan
PLakkk! Sebuah tamparan tepat mengenai wajahku.
“Aaa ampun mass, ampunn, aku sedang hamil mass.”
Aku semakin memelas dan ketakutan.
“Ahh,
mau pake alasan apa lagi kamu!” Abdul membentakku dan merobek bajuku,
hingga aku hanya mengenakan BH warna hitam dan rok putih selutut.
Aji melepaskan ikatan pada tangan dan kakiku.
“Sekarang
mau lari kemana kamu?! Memangnya kamu sanggup melawan kami bertiga?”
Dewo menantangku, dengan cepat ia membuka baju dan celana pendeknya
hingga hanya tersisa celana dalam warna coklat.
Aku
tersentak dan kaget, juga kulihat penis Dewo yang sudah membesar hingga
sedikit mencuat ke atas celana dalamnya. Aku merangkak menuju sudut
ruangan itu, aku menggedor-gedornya dengan harapan ada seseorang yang
mendengar. Tapi tindakanku justru membuat mereka semakin bernafsu untuk
segera menikmati tubuhku.
“Mau kemana kamu, disini tidak ada orang lain kecuali kami bertiga hahaha.”
Aji senang sekali melihatku hanya mengenakan BH dan Rok yang sedikit tersingkap.
“Mass ampunn, aku sedang hamil, nanti suamiku bisa membunuhku.”
Tubuhku merinding dan sesekali aku berteriak minta tolong.
“Wahaha,
aku sudah tidak percaya lagi dengan ucapanmu! Kalau suamimu ingin
membunuhmu, ceraikan saja! Setelah itu kamu bisa jadi WTS sepuasnya.”
kata Abdul sambil mendekatiku.
Diraihnya kedua tanganku dan membuatku sedikit berdiri. Srakk, Abdul merobek rokku dan melemparnya ke arah Dewo.
“Itu Wo, buat kenang-kenangan.” kata Abdul.
“Haha, iya mas, nanti aku pajang di rumah.” kata Dewo cengar-cengir.
Kini tubuhku sudah setengah bugil. Tanganku secara naluri menutup dada dan selangkanganku.
“Wah
bener-bener, ini namanya rejeki nomplok.” Abdul menciumi leherku yang
putih, dibuatnya tubuhku merinding dan aku hanya menggeleng-gelengkan
kepalaku menghindari jilatan liar lidah Abdul.
Ciuman
Abdul semakin turun mengarah pada dua gunung kembar milikku. Aku tak
dapat mengelak, tanganku di pegang Abdul dan diangkatnya keatas. Abdul
semakin liar menjilati dadaku yang masih terbungkus BH, ia
berpindah-pindah dari kiri ke kanan dan sebaliknya. Hingga ia kemudian
menjilati ketiakku.
“Aaaa, ampun mass, ampun, too.. tolong nghh.”
Aku
tidak dapat berbohong kalau kelakuan Abdul membuat birahiku naik dan
tubuhku menjadi sedikit lemas. Dengan sedikit dorongan, Abdul
menjatuhkanku di tengah ruangan dan kait BH ku terlepas. Aku sudah tidak
bisa lari dari mereka, kini yang ada di dalam pikiranku hanya janin di
dalam perutku, aku menyadari semakin aku melawan maka mereka juga akan
semakin kasar terhadapku. Aku terdiam, tak melakukan perlawanan, bahkan
berteriak pun tidak. Air mata mulai menetes membasahi pipiku. Isak
tangisku beradu dengan tawa dari mereka bertiga. Tubuhku lemas, antara
takut dan pasrah menjadi satu. Dengan kedua tangannya Abdul membalikkan
badanku hingga kini terlentang memperlihatkan paha dan payudaraku yang
sudah sedikit terbuka. Mereka bertiga berdiri diatasku sambil
cengengesan, rupanya Aji juga sudah melepas celananya diikuti dengan
Abdul. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi.
Dewo yang sudah siap dari tadi telungkup dari atasku, tangannya mulai
bermain di telingaku sedangkan kepalanya terus memburu bibirku.
“Mmmpff… mmpff.”
Dewo
menciumku dengan ganas, aku hampir tidak bisa bernapas dibuatnya.
Sambil tetap berciuman dia menggapai tanganku dan mengarahkannya ke
penisnya yang sudah membesar. Dituntunnya aku untuk meremas-remas buah
pelirnya yang kini ia berganti posisi dengan sedikit nungging. Aku pun
menurut saja, aku remas-remas bagian buah zakar sampai ke dekat bagian
anus yang masih tertutup celana dalam yang sudah usang. Tidak berapa
lama Aji sudah berada di paha bagian kananku. Ia sudah telanjang, kini
ia menindih pahaku diantara selangkangannya, hingga dapat kurasakan
penisnya yang besar dan berotot menggesek-gesek pada pahaku yang mulus.
Tangan Aji mulai bermain di dadaku, sambil sesekali ia menjilat bagian
perutku.
“Nnggghhh uaamppff.” desahanku membuat mereka berdua semakin liar memainkan lidahnya di tubuhku.
“Nngghh, ahhh, mmppff.” sambil tetap berciuman desahanku tak henti-hentinya keluar.
Memang
harus kuakui meski dari rohani aku menolak, tapi tubuhku tidak dapat
menolaknya dan aku rasakan vaginaku mulai basah oleh lendir
kewanitaanku.
“Heh! Minggir-Minggir! Biar aku yang pertama merasakan tubuhnya.” teriak Abdul.
“Aku kan yang mendapatkan ide ini, jadi aku yang berhak untuk memulainya, awas-awas.” tambahnya.
Aji
dan Dewo segera menyingkir dari tubuhku. Bak seorang raja, Abdul
menindihku, dan kini penisnya yang sudah tidak dilapisi apapun tepat
berada ditengah-tengah selangkanganku.
“Gimana nona manis, sepertinya kamu juga keenakan ya?” kata Abdul di depan mukaku.
“Yang tadi itu belum pemanasan, baru tahap uji coba.”
Ia semakin mendekat di wajahku. Seketika itu Aji melepas BH ku, dan dengan liar putingku dimainkan.
“Nnggg ahhh, aah, ah.” nafasku semakin tidak teratur.
Dewo
yang tidak bisa diam meraih tanganku dan mengarahkan ke penisnya lagi,
lalu menyuruhku untuk mengocok-ocoknya. Aji pun tidak mau kalah, dari
sisi yang lain ia memintaku untuk melakukan seperti apa yang kulakukan
pada Dewo.
Wajah Dewo menghilang
dari hadapanku, rupanya ia turun dan kini ia tepat berada di atas daerah
kemaluanku, dilebarkannya kakiku dan ia mulai menciumi vaginaku yang
masih dilapisi celana dalam sambil tangannya memainkan putingku. Aku
semakin bernafsu, tanpa kusadari aku mengangkat pinggulku agar ciuman
Abdul pada vaginaku lebih terasa. Abdul tampaknya tahu kalau aku sudah
sangat terangsang. Segera ia melepas celana dalamku yang sudah banjir
oleh lendir dari vaginaku. Disibakkannya rambut kemaluanku dengan
lidahnya. Kemudian Abdul mulai menjilati vaginaku dan sesekali menghisap
klitorisku dan tangannya semakin liar bermain di kedua payudaraku.
“Nnggghhh, ahhh, aaaa mmmh mass.”
Aku
mengerang keenakan sambil menekuk kedua pahaku sehingga Abdul lebih
leluasa memainkan vaginaku. Aku benar-benar serasa melayang, dihadapanku
kini ada 3 orang yang secara beringas memperkosaku. Aku sangat malu
pada diriku, kenapa aku justru bisa menikmati keadaan ini, tapi tubuhku
seolah-olah sudah menyatu dengan jiwa mereka.
“Mass ahhh, terus mass, enn… enak.”
Aku
terus meracau tak karuan yang membuat mereka bertiga semakin bernafsu.
Lidah Abdul semakin liar menghisap-hisap vaginaku diiringi kocokanku
pada batang kemaluan Dewo dan Aji.
“Aahhhh ahhh, mass. Lebih cepat mass.” aku mengerang dan ketika itu juga aku mengalami orgasme.
Cairanku
membasahi wajah Abdul namun ia terus menjilatinya hingga aku
menggelinjang kekanan dan kekiri. Kini Abdul membangunkan tubuhku, dan
memintaku untuk menjilati ketiga penis mereka. Aku seperti dicekoki, di
depanku kini ada 3 rudal yang siap menjejali mulutku. Tanpa menunggu
lama, aku masukkan penis mereka bergantian di mulutku, sambil tanganku
memainkan batang kemaluan mereka. Mereka bertiga nampaknya merasa
keenakan.
”Ooohh.” Aji melenguh keenakan.
Sekitar
15 menit aku memainkan penis mereka sambil terus mengocoknya. Abdul
yang sudah sangat terangsang mendorong tubuhku dan mulai memasukkan
penisnya yang besar itu.
“Mass.” aku menahan sakit saat penis Abdul menghujam vaginaku.
Dengan
sekejap seluruh batang milik Abdul masuk ke dalam liang kewanitaanku.
Tanpa basa-basi, Abdul mulai menggerakkan penisnya maju mundur.
Sedangkan Aji dan Dewo menjilat-jilat dan menghisap payudaraku. Aku
dikeroyok oleh 3 orang. Libidoku pun semakin meningkat setelah tadi aku
mengalami orgasme. Aku memegangi kepala Aji dan Dewo sambil terus
melenguh keenakan.
“Uhhh ahhh, umm. ahh.” kata-kata itu yang terus muncul dari mulutku melihat perlakuan mereka terhadapku.
Sekitar 10 menit kami melakukan posisi ini sambil bergantian Aji dan Dewo menciumi bibirku.
Abdul
belum juga keluar, ia cukup kuat untuk ukuran lelaki seperti dia. Kini
ia menyuruhku untuk nungging. Aku hanya menuruti perkataannya.
“Dul, gantian aku yang naikin dia.”
Tanpa
basa-basi Dewo mengarahkan penisnya ke arah vaginaku, kini posisiku
berganti menjadi menungging sambil di genjot oleh penis Dewo. Penis Dewo
tidak terlalu besar, bahkan hanya setengah milik Aji dan Abdul. Mungkin
ini pertama kali baginya untuk merasakan liang vagina. Karena kulihat
ia cukup lama sebelum seluruh batangnya masuk ke dalam vaginaku.
“Uoogghh, uenakk tenann” kata Dewo.
Ia
menggerakkan pinggulnya maju mundur mengikuti irama pantatku. Dewo
cepat beradaptasi, meski penisnya kecil, tapi gerakkannya sangat cepat,
berbeda dengan Abdul yang menikmatiku dengan pelan. Aji berganti posisi,
kini ia di depanku dan mengarahkan penisnya ke mulutku, kemudian ia
memaju mundurkannya beriringan dengan genjotan Dewo. Abdul yang tadi
menggenjotku kini asik bermain dengan putingku yang lumayan besar. Kami
terus melakukan tarian kenikmatan ini, Dewo semakin cepat menggerakkan
penisnya maju mundur.
”Ahhh, masss, aaa… aku keluaaarr…. umm, mmpfff.”
Aku
keluar untuk kedua kalinya. Begitu juga dengan Dewo, ia yang masih
belum berpengalaman mengeluarkannya di dalam vaginaku, seketika itu juga
ia langsung lemas.
“Wah, Wo,
parah kamu, masa kamu keluarin di dalem, kan jadi kotor,” kata Aji. “Aku
saja belum sempat merasakannya sudah kotor sama peju kamu.” tambahnya.
“Maaf mas Aji, aku kelepasan.” ucap Dewo.
Tampaknya Dewo sudah lelah, ia kemudian berbaring dan sepertinya akan tidur.
“Wah, dasar anak ini, habis enak langsung minggat.” ucap Abdul.
Abdul
kemudian menggantikan posisi Aji dengan memasukkan penisnya ke mulutku.
Sedangkan Aji kini berada tepat dibelakangku dengan posisiku yang masih
tetap menungging.
“Tahan ya, sakit sedikit tapi enak kok..” seringainya padaku.
Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan padaku, tidak begitu lama ternyata ada sesuatu yang mencoba masuk melalui anusku.
“Nggghhh masss, sakitt, aaampun mas.”
Aku merasa kesakitan saat penis Aji yang besar mencoba menerobos anusku.
“Ahhh, aaaw ashh, nnnhh.”
Aku
semakin tidak karuan merasakannya. Dengan sekuat tenaga meski sempat
beberapa kali bengkok akhirnya penis Aji masuk ke dalam anusku.
”Nggg ahhh.”
Rasa sakitku pelan-pelan menjadi kenikmatan yang baru bagiku, karena baru kali ini anusku dijejali penis.
“Hhmmff sempit banget, uahh.” ucap aji keenakan, ia juga tidak kalah keenakan daripada aku.
Aji sudah mulai terbiasa dengan ini, sesekali ia meludahi anusku agar lebih mudah menggerakkan penisnya.
“Akkkkhh,
uuahhhh.” Aji mendesah keenakan saat ia mencapai puncak kenikmatan,
spermanya mengisi penuh seluruh isi anusku hingga meleleh keluar.
Tidak berapa lama Abdul yang sudah dari tadi memaju mundurkan penisnya di mulutku juga merasakan hal yang sama.
“Oouughhh teleennnn, sseeemuaa.”
Ia
meracau sambil tangannya menekan kepalaku pada penisnya. Seketika itu
juga cairan spermanya menyemprot di dalam rongga mulutku dan mau tidak
mau harus aku telan.
Harus kuakui
mereka bertiga cukup hebat, namun tetap saja tidak bisa mengalahkan mas
Deden, Mereka bertiga hanya sanggup membuatku keluar 2 kali, tapi mas
Deden mungkin bisa lebih, bahkan hingga aku tidak mampu lagi untuk
berdiri.
Mereka bertiga duduk di
dalam ruangan sambil beristirahat karena mereka sangat lelah. Aku pun
masih terbaring di lantai tanpa sehelai benangpun. Abdul mengeluarkan 2
lembar lima puluh ribuan.
“Itu untuk ongkos jamu dan tubuh kamu. Sekarang kamu pergi dari sini!” ucapnya sedikit membentak.
“Bagaimana dengan pakaianku?” tanyaku.
“Pikir saja sendiri” balas Abdul ketus.
Kemudian
aku memakai BH dan celana dalamku. Aku gunakan selendang yang kupakai
untuk mengangkat keranjang tadi, aku lilitkan untuk menutupi tubuhku dan
untunglah cukup. Aku bergegas meninggalkan mereka sambil membawa
keranjangku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore.
“Mas Deden pasti sudah pulang ini.” ucapku dalam hati sambil mengusap air mata di pipiku.
Sesampainya
di rumah ternyata benar, Mas Deden sudah menungguku pulang. Aku
ceritakan semua kejadian ini padanya bagaimanapun aku tetap mencoba
untuk terbuka padanya karena dialah satu-satunya orang yang kumiliki.
Reaksi Mas Deden sungguh membuatku kaget, Ia justru memelukku dengan
erat, dan mengelus perutku memberikan kasih sayang pada si Jabang Bayi.
Aku terharu dengan Mas Deden. Meski sempat ia akan bergerak mengumpulkan
warga untuk memberi pelajaran pada orang-orang yang memperkosaku, namun
aku dapat meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa, dan semoga saja
janinnya juga tidak terjadi apa-apa. Aku bangga dengan Mas Deden, ia
tidak panik saat mendapatiku mengalami kejadian seperti ini, Selamanya
aku tetap mencintainya. Setelah kejadian ini aku sudah tidak berjualan
jamu lagi. Kali ini aku menjadi pendamping setia Mas Deden, dengan
menemaninya pergi ke ladang setiap hari. Meski keadaan ekonomi kami
semakin sulit, tapi kebahagiaan kami seolah menutup dalam-dalam semua
keadaan ini dan kejadian masa lalu. Kini anakku sudah besar, peristiwa
itu tidak membuat kondisinya saat lahir menjadi cacat mental atau
sejenisnya. Ia tumbuh menjadi putri yang cantik dan kami beri nama
Mentari, yang tetap bersinar sesulit apapun keadaan yang kami alami saat
ini, esok, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar